Segitiga warna (2)
Dia adalah sahabat saya. Suaminya juga sahabat suami saya.
Tanpa perlu diceritakan apa permasalahannya, suatu hari dia berkata, ”Mbak, malam
setelah sholat istikharah, saya bermimpi. Saya menikah lagi dengan sosok hitam
besar, namun wajahnya bercahaya. Dan cahaya itu masuk ke dada saya.”
Entah bagaimana Allah memasukkan dalam benak saya, sehingga
bathin saya berkata, “Itu suami saya”.
Pada kesempatan lain, sahabat saya kembali bercerita, “
Kenapa saya bermimpi lagi, orang yang menikahi saya memiliki istri. Istrinya
berjilbab besar, dan anaknya banyak.”
Lagi-lagi bathin saya berkata ,”Itu saya”.
Hal yang tak bisa diukur dalam kacamata manusia. Allah
menanamkan rasa sayang pada saya untuk sahabat saya, termasuk untuk
anak-anaknya.
Tak sedikit orang bertanya, “Tidak cemburu kah, suami menikah
lagi dengan sahabat sendiri?”
Entahlah, sepertinya Allah menjaga saya dengan pandangan hikmah
yang luar biasa.
Anak sulung Bunda, begitu kemudian anak-anak saya
memanggilnya, memiliki perangai yang “sedikit istimewa”. Kadang marah pada
hal-hal sepele. Kadang sedih untuk hal-hal yang belum pasti. Namun
bagaimanapun, disinilah kuasa Allah berbicara. Kami pun (saya dan anak-anak)
sayang padanya. Pun ketika Bunda dan anak-anaknya menelpon, meminta bantuan,
dengan ringan saja rasanya saya memberikan.
Begitulah, memang pada akhirnya, saya yang melamar untuk
suami saya.
Comments
Post a Comment