Saat detik waktu demikian berharga

Masih jelas dalam ingatan, 5 hari lalu, tepatnya rabu, 13 Feb 2019. B, seorang teman dekat mengabarkan jika sudah mulai proses pembukaan kelahiran. Hari itu, sepanjang aktivitas saya dari kuliah, bimbingan, hingga takziyah, terus menyempatkan untuk menanyakan perkembangan proses pembukaan lahirnya. Namun, hingga sore tiba, qodarullah belum ada perkembangan, masih tetap bukaan 1.

Malam hari, tepatnya ba'da isya, sesuai dengan agenda yang disepakati dengan pihak RS, saya bersiap-siap masuk  untuk persiapan operasi. 

"Maaf ya B, saya mungkin tidak bisa menunggui proses kelahiran adek bayi. Semoga proses kelahirannya lancar. Yang sabar ya..."
Hanya itu yang bisa saya sampaikan pada B menjelang keberangkatan.

Kamis..
Jum'at..
Terus terang saya tak terlalu memikirkan. Mungkin karena saya sendiri berada dalam kondisi tak berdaya, digantungi selang infus yang karena berbagai kondisi sampai bocor berkali kali, saya jadi lupa dengan kondisi B. 

Alhamdulillah, dengan seijin Allah operasi dan pemulihan berjalan lancar. Sedikitpun tak ada sakit yang saya rasakan. Dari sebelum, semasa, hingga setelahnya. Padahal deg-deg annya sudah dari ujung kepala hingga ujung kaki. Saya tidak tau, apakah setiap operasi rasanya seperti ini? Namun yang jelas saya merasakan kemudahan yang luar biasa dari Allah.

Sabtu siang, pulang dari RS.
Begitu datang, rumah pertama yang saya ketuk adalah tetangga depan, B.
Sepi... tak ada jawaban. Lampu menyala. Kemungkinan sudah di bidan. Telpon, tidak diangkat. Pesan, tidak dibaca. Mencari-cari berita kelahiran, mungkin saja saya terselip membaca, tidak ada juga.
Mulai rasa curiga menyergap benak saya.


Mengabaikan rasa 'pasca operasi'. Ba'da maghrib, di tengah hujan lebat, mengajak adik B untuk menengok kondisi di bidan. 
Ukh.. sabu malam jalanan macet luar biasa. Lewat dari jam 8 kami baru tiba. Perasaan saya sudah tidak nyaman. asisten bidan adalah orang pertama yang saya temui. 

"Bagaimana kondisinya, mbak?"
"Bayinya terlalu besar, agak sulit membuka jalan lahir"
“Sekarang bukaan berapa?”
“Tujuh”
“Bukankah setelah lewat 3 hari jadi beresiko tinggi?”
“Ya, sudah lewat ambang kritis, bu”
“Baiklah.. Sarannya?”
“Operasi”
“Kendalanya?”
“Ibu Bapaknya belum mau”
“Baiklah…”
  
Percakapan singkat itu memberikan gambaran awal, apa yang terjadi? Namun… segala yang saya fikirkan mendadak sirna setelah melihat kondisi riil mereka berdua. Mr B, dengan badannya yang demam hanya bengong seperti orang kehilangan kesadaran. Mrs B dengan wajah pucat dan peluh bercucuran duduk di pojokan menahan rintihan berkepanjangan.  

“Astaghfirullah….sudah berapa lama seperti ini?!”
Saya tepuk-tepuk pipinya beberapa kali. Memberi motivasi untuk menerima segala kondisi. Pasrah, bahwa proses kelahiran adalah hak prerogative Allah. Akhirnya disepakati bahwa tindakan operasi harus diambil secepatnya.

Entah…mungkin karena katup-katup kelegaan justru mulai terbuka. Yang sudah berhari-hari sebelumnya tak ada keluhan keluar dari mulut B. Justru untuk waktu 1 jam saja menanti persiapan operasi sesar, Tangis kesakitan keluar sejadi-jadinya. Ah…sabar ya… tak lama lagi, insya Allah.

Satu jam itu, terasa sangat lama. Saya berkisah tentang proses kelahiran anak pertama adek yang sudah bukaan 1, masih harus naik kereta dari Jakarta-Malang. Kisah lain tentang teman kerja yang mengalami proses bukaan 1 selama 2 pekan! Dan beberapa kisah kelahiran yang saya tau, bermacam-macam. Untuk apa? Sekedar membesarkan hatinya, yang merasa bahwa dengan proses operasi, artinya dia gagal sebagai seorang ibu. Ah..tidak sayang.. itu sama sekali tidak benar.

Alhamdulillah pukul 22.00 tepat. Tim dokter siap, dan B masuk ruang operasi.

Duduk di depan ruang operasi, ternyata pasien saya masih ada satu lagi, Mr. B. Ya Allah… saya jadi merasa sangaattttt tua. Menghadapi pasangan-pasangan muda yang masih culun. Tak tau apa yang musti dilakukan jika istrinya begini begitu, jika anaknya begitu begitu? 
Alhamdulillah… memang usia tak bisa dibohongi.

Cukuplah 25 menit kursus singkat untuk Bapak muda ini, sebelum terdengar suara sangat kencang dari dalam ruangan. “Oeeeee…oeeeee”

Alhamdulillah…. Bergetar rasanya mendengar suaranya, untuk pertama kali. Laki-laki, 4,2 kg. Saat yang tak bisa dilupakan. Bagaimana kesempatan itu selalu ada, pada detik-detik perjalanan kita.

Mungkin kemarin kita mengalami perpisahan, bisa jadi esok kita mendapatkan kembali masa pertemuan. Mungkin kini ada yang merasa kehilangan, bisa jadi esok kita menikmati kehadiran. Jam dinding, memang berputar pada arah yang sama, namun masa tidak selalu sama. Ya, kan?

Maka bersyukurlah, pada setiap masa. 
: Welcome home, baby.... :*

Comments

Popular Posts