Segitiga warna (1)
Sekelumit cerita di pagi hari, kala kerumunan orang dengan
wajah berseri, memadati ruangan yang berhias bunga warna warni.
“Dek, ini bukan tentang poligami, namun tentang sinergi”.
Tak bisa dipungkiri, saya menatap takjub padanya. Sesosok
wanita yang sangat lembut hati.
**
Saya mengenalnya sebagai rekan kerja (walau tidak berada
dalam satu departemen), sebagai sesama anggota jamaah, sebagai murrobi, dan
sebagai istri dari seseorang yang cukup banyak bekerjasama dengan saya. Ditambah
lagi, putri sulungnya menjadi salah satu murid saya.
Sebenarnya sejak lama saya tau, bahwa suaminya menikah lagi.
Namun, saya menahan diri untuk tidak bertanya. Tak pernah sepatah katapun
terucap dari bibir saya, menanyakan perihal itu. Baik padanya, pada
suaminya, ataupun pada putrinya. Saya merasa, tak berhak mencampuri. Toh setiap
orang punya kisahnya sendiri.
Interaksi kami berjalan apa adanya. Beberapa kali saya berkunjung
ke rumahnya. Untuk bersilahturahmi, ataupun untuk satu dua hal keperluan. Dan
selalu diterima dengan terbuka.
Beberapa waktu belakangan, mungkin karena dorongan untuk
menggalakkan literasi, dia menulis sesuatu yang secara implisit
menyatakan isi hati.
Dalam suatu moment pertemuan, “ Mbak.. saya suka membaca tulisannya.”
“Ah..itu karena saya mengikuti program literasi, jadi terdorong
untuk terus menulis”, pungkasnya.
“Saya suka membacanya, jadi ikut belajar untuk
mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Saya juga suka menulis, namun lebih
sebagai bentuk katarsis saya. Kalau sudah
menulis, rasanya lega. Dan saya tak bisa menulis dengan tema yang ditentukan”.
Obrolan ringan berlangsung beberapa saat, ditambah karena
ada beberapa kenalan yang bergabung, kemudian bersama-sama, kami menuju meja
jamuan makan. Melayangkan pandangan, mengira-ngira, dimana bisa duduk dan makan
dengan nyaman. Qodarullah, duduklah kembali saya berdua dengannya. Hanya ada
dua kursi di sana, dan tepat di depan kolam.
Seperti memberi kesempatan, dia mulai bercerita…(bersambung)
Comments
Post a Comment