Ketika saatnya tiba


Pagi itu telepon saya terima, lamat-lamat terdengar suara seorang wanita. Lembut ia menyapa, pelan ia berbicara. Sepucuk berita disampaikannya. Dan saya, tiba-tiba terpana. Serasa ada biji kedondong yang tersekat di tenggorokan saya. Akhirnya saat itu tiba, pesta perpisahan untuk saya.

Entah, dari mana saya memulai, menuliskan corak-corak warna yang semburat di hati saya.

“Senang? “

“Tentu saja, saya kan mau pulang. “

“Ooo, pulang ya? Pulang ke mana?”

*bingung*

Apa saya masih bisa merasa ‘pulang’, ketika separuh hati tertinggal di genggaman sahabat-sahabat saya?
Apa kaki masih bisa merasa ringan, ketika ayunan langkah terkunci tali kasih sahabat-sahabat saya?
Apa senyum masih bisa mengembang, ketika membayangkan kita akan terpisah jauh di seberang?
Ah.. :( 
(*pertanyaan2 yang mengrecoki tidur saya semalaman)

Mungkin semua heran, kenapa saya malah tak ada di sini sekarang. Yah.. tidak semua hal bisa saya genggam, kan? Dan sepertinya saya harus mulai belajar kehilangan moment kebersamaan perlahan-lahan.

Untuk Brisbane.
Tak hanya ruang dan waktu yang berubah.
Bahkan definisi tentangmu juga berubah.
Kota besar yang keindahannya tak habis diurai dalam kata-kata? Itu benar.
Kota yang melaju yang memaksa setiap penduduknya harus berpacu? Mungkin juga benar.
Atau, kota pelajar dimana tiap hal yang kita temui harus diolah nalar? Tak bisa disalahkan.

Tapi Brisbane, ternyata menyimpan lebih banyak dari definisi sudut luar.
Ketika dia mencipta warna, yang mengubah pandangan mata.
Ketika dia mencipta cinta, yang membuat penduduknya berjiwa.
Ketika dia menggelitik rasa, yang membuat lidah tak pernah merasa hampa.
Dan ketika dia membuat kita menjadi manusia seutuhnya.


#Brisbane, 2 September 2011
Untuk sahabat.
Dimana 'manusia' itu ada

Comments

Popular Posts